Wednesday, May 25, 2011
.maafkan anakanda.
Lembaran lusuh semakin rapuh dengan tetesan air mata ini, semakin kubaca semakin aku tahu siapa yang mati hari ini dan betapa aku mencintainya.
Sejak kematian ibu, aku begitu membenci ayah, ia hantu dalam hidupku. Sejak malam senyum ibu pergi, tak kubiarkan diri ini tersenyum pada ayah, ia bukan ayah, ia bukan suami, ia bukan apa apa. Setiap berangkat sekolah aku naik bis dan melihat ke luar jendela, membuai hati dengan bayangan ibu yang sedang menyirami tanaman sambil melambaikan tangan kearahku. Aku selalu melayang kembali menyusuri waktu yang telah lewat, kembali bermanja dalam buaian ibuku. Tapi selalu pula meledak marahku pada ayah bila ingat ibu. Ia penyebab semua ini, ia penyebab kematian ibu.
Masih bergemuruh di ingatanku saat malam itu ayah pergi. Ia pergi setelah bertengkar dengan ibu. Aku tak habis pikir kenapa ayah berubah. Ada di rumah hanya untuk mengadu keras suara dengan ibu, Ayah benar benar sudah berubah, ayah selalu marah besar untuk kesalahan kecil yang ibu lakukan. Aku benar benar tak mengerti dengan sikap ayah. Mungkin ia tidak sadar tapi perubahan sikapnya itu yang membuat mereka jadi sering bertengkar, bertengkar dan bertengkar. Awalnya aku selalu menghindar ke kamarku bila ayah dan ibu mulai bertengkar, membungkukkan kepalaku sambil menutup telingaku rapat rapat. Namun di pertengkaran yang kesekian aku memilih untuk keluar kamar saja. Bosan aku dengan semua ini, aku muak dengan sikap ayah. Aku bertanya kepada ayah kenapa ia berubah jadi pemarah dan ketika ia tidak menjawab tanpa ragu ragu aku bilang aku tidak suka dengan sikap ayah. Namun ibu selalu jadi pemanis pahit ayah, ia menyelimuti ayah dengan semua pembelaannya setiap kali aku menyerang ayah. Ibu selalu melerai dan ia selalu bilang kalau ayahku adalah ayah yang baik. Hal yang ingin sekali aku percayai.
Dulu ayah dan ibu tidak pernah bertengkar, mereka terlihat begitu saling menyayangi. Aku tak mengerti apa yang membuat keadaan berubah. Dulu ayah dan aku juga sangat dekat, saat itu ia sungguh ayah yang baik. Ayah selalu membawa kami sekeluarga pergi bersama di akhir pekan. Bisa dibilang setiap waktu ayah selalu menjaga keharmonisan keluarga kami. Saat itu aku juga yakin ayah sangat menyayangi aku dan ibu. Aku dapat melihat dari air muka ayah, ia begitu berat untuk meninggalkanku dan ibu bila ia harus pergi tugas ke luar kota. Dulu akupun sangat manja pada ayah, aku selalu minta di ajak bila ayah pergi tugas, aku baru mau diam bila ayah sudah menjanjikan akan membelikan aku sesuatu bila nanti ia pulang. Pokoknya dulu kami sangat bahagia. Tapi mungkin benar, tidak ada sesuatu yang abadi, seperti kebahagiaan keluargaku, kebahagiaan itu sudah berakhir, dan aku memilih ayah sebagai penyebab utama semua masalah. Ia penyebab hancurnya keluarga ini, dan yang terutama ia penyebab kematian ibu.
Malam itu setelah bertengkar dengan ibu, ayah pergi. Ia bilang ia tugas keluar kota selama tiga hari. Aku benci, aku meluap marah, karena belakangan aku tahu bahwa tak pernah ada tugas keluar kota, penipu. Aku sungguh tak mengerti, lalu kemana saja ia selama itu, bertualang di antara bintangkah, mencari sisa dirinya dalam pertemuan dengan wanita lain, melupakan bahwa ia telah mengikat erat dirinya dengan ibu, dan apakah dengan adanya aku tak membuat ikatan itu makin erat, apa arti putranya ini buat dirinya, bebankah, atau malah sebuah kesalahan. Saat mencoba mencari jawaban, tumbuh begitu banyak pertanyaan baru dan itu semakin membuat rasa jauh di dalam hatiku makin penuh dengan gores.
Sudah hampir dua tahun sepeningal ibu, tapi matahariku masih beku, bukan karena rasa kehilanganku, tapi justru karena amarahku pada ayah, ia tampak begitu tak mengerti dengan kemarahanku padanya, ia seakan bilang tak sedikitpun aku pantas marah padanya, seolah semua ini bukan salahnya. Sia sia selama ini aku menunggu, menunggu ia mengakui kesalahannya, dan aku sungguh ingin tahu kemana malam itu ia pergi, yang jelas ia tidak tugas ke luar kota.
Aku letih, aku ingin segera pergi dari rumah ini, meninggalkan ayah dan semua amarah. Mengemasi manis ingatan kenang ibuku dalam diri dan beranjak pergi dari sini. Tapi aku sudah berjanji pada ibu aku akan menemani ayah sampai ayah renta, menggantikannya merawat ayah. Sekalipun itu sulit bagiku, tetap harus kujalani, aku sudah berjanji, demi ibu.
Memang sekarang ayah seperti mencoba jadi seorang ayah untukku. Ia lebih sering dirumah, memasak makan malam, dan hal lainnya. Tapi buatku itu semua pecah sia sia, apapun yang ia lakukan takkan mengubah keadaan. Ia tetap gelap dimataku dan takkan pernah berubah.
Walau ia selalu kelabu, walau gores lelah dan sedih selalu terlihat diwajahnya, tetap saja aku tak perduli. Ia sudah cukup beruntung aku masih ada disini menemaninya dan kuharap ia tahu semua ini kulakukan bukan untuknya, tapi untuk ibu.
Waktu berjalan dan berjalan, tapi keadaan tidak banyak berubah. Hubunganku dengan ayah pun tak kunjung membaik. Lagi pula aku memang tak mau memperbaiki keadaan, hampir tiap hari aku pulang tengah malam, dan hampir tiap hari aku berangkat tanpa memakan sarapan yang sudah ayah siapkan. Aku ingin ia tahu kalau aku benar benar membencinya. Aku dan ayah jadi jarang bertemu dan bertegur sapa karena hampir tiap hari aku pulang tengah malam, tapi sesekali aku tetap mengontrol keadaan ayah, dan aku tetap menyediakan semua kebutuhan ayah atau paling tidak menjaga semua kebutuhan ayah tetap terpenuhi. Aku harus ingat janjiku pada ibu, aku akan menjaga ayah sampai ayah renta.
Beberapa bulan setelah aku lulus SMU ayah dirawat di rumah sakit, ia tampak tak berdaya, terbaring bersama selang infus dan selang oksigen. Dokter bilang hati ayah sudah tak berfungsi dan tak dapat tertolong, dan menurut dokter umur ayah hanya tinggal hitungan minggu.
Entah kenapa ditengah marahku aku tetap merasa sedih dan yang terburuk aku terus berusaha menyangkal rasa itu. Walau sebenarnya aku tahu dan aku tak bisa bohong kalau aku sayang padanya. Karena bagaimanapun dia tetap ayahku. Apakah aku harus memaafkannya. Aku benar benar kalut dan bingung. Saat ini aku benar benar ingin ayah tersadar. Aku ingin ia menjawab semua pertanyaanku atau minimal mengakui kesalahannya dan minta maaf, sehingga aku tidak terjebak dalam rasa yang membingungkan ini. Tapi itu sepertinya itu tidak mungkin, saat aku keluar dari ruangan tempat ayah dirawat, ayah masih tetap terbaring tak berdaya dan matanya pun tetap terpejam. Raut wajah ayah masih seperti biasanya, lelah dan penuh gores, hal itu menambah beban dalam hatiku. Sekarang aku benar benar tak tahu harus bagaimana.
Saat aku ke luar dari ruangan ayah, dokter mencoba menenangkan aku karena mungkin saat itu aku terlihat sangat kalut. Tapi aku seperti tidak mendengar, aku hanya diam. Aku terus terdiam sampai akhirnya dokter itu pergi. Aku akui aku sedih, sangat sedih, karena bagaimanapun ia ayahku. Tapi aku juga masih sangat marah padanya dan masih belum bisa memaafkannya. Semuanya pikiranku, marah dan sedihku, semua terus berputar putar, bergantian mengisi diamku.
Tak lama setelah itu, semuanyapun berakhir, hari ini ayah dimakamkan, tadi malam ayah menghembuskan nafas terakhirnya setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit.
Aku tak mengerti apa yang tengah kurasa saat ini, semua campur aduk, aku terus menyelusuri semua garis dalam hatiku, menyusuri semua titik cahaya, menyusun serpihan untuk tetap berdiri. Aku terlalu takut, terlalu marah, terlalu bingung. Aku bahkan tidak datang tadi saat pemakaman, aku terus berjalan menyusuri jalan setapak yang entah menuju kemana, terus melangkah dan mencoba sembunyi dalam penyangkalanku. Entah berapa lama sampai akhirnya aku pulang.
Begitu pulang aku membereskan barang barangku dan barang barang ibu, aku ingin segera pergi jauh dari sini, mengubur semua, membuat banyak cerita baru di luar sana, cerita yang sudah lama ingin kurengkuh. Namun di depan meja rias, aku mematung lama, terduduk dan terdiam. Aku terus membaca kertas lusuh yang kutemukan di laci meja itu. Ini tulisan ibu, tapi aku benar benar tak percaya yang tertulis didalamnya. Berulang kubaca dan kubaca. Aku terus diam dan membaca isi kertas itu.
“Sayang aku menulis surat ini sambil menangis. Aku benar benar tak mau kehilanganmu, aku tak mau berpisah denganmu, kumohon tolong jangan tinggalkan aku, kau sangat istimewa untukku dan aku sangat mencintaimu, walau aku tahu sulit bagimu untuk mempercayai itu setelah semua ini.
Aku memang salah, sangat salah, dan aku sangat malu telah melakukan semua ini. Aku seharusnya tak melakukan ini dan aku seharusnya sadar kalau aku sudah menikah. Dan aku sungguh ingin kau tahu, tak ada yang kurang darimu, tidak ada. Kau sungguh suami yang sempurna. Dia bukan apa apa jika dibanding dengan dirimu, Saat itu aku hanya khilaf, atau aku mungkin jenuh dengan keadaan. Aku tahu tetap saja itu bukan alasan untuk main gila.
Aku minta maaf, aku benar benar minta maaf, aku mengaku salah, hukumlah aku, tapi kumohon jangan tinggalkan aku. Maafkan aku sayang.
Aku sayang padamu.
Indah. (Ibuku)
Sekali ini dalam hidupku, aku benar benar menangis. Sekali ini dalam hidupku aku merasa sangat bodoh. Kenapa ayah menyembunyikan semua ini, kenapa ia biarkan aku membencinya. Ayah pasti begitu mencintai ibu. Ia tak mau aku membenci ibu sampai sampai ia biarkan aku membenci dirinya, bahkan sampai ia mati. Aku takkan membenci ibu, setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk ayah. Sambil terus menangis kupegang surat itu erat sekali.
Lembaran lusuh itu semakin rapuh dengan tetesan air mata ini. Semakin kubaca semakin aku tahu siapa yang mati hari ini dan betapa aku mencintainya.
Kisah Diatas memberikan pesan indah untuk kita...
“Apapun kekhilafan ibu dan ayah..Ia jua manusia biasa yang tak luput dari khilaf dan dosa..Pantaskah kita Acuhkan Tiap derai air mata,keringat bahkan darah yang mengalir dari tubuhnya?. Dan semua itu ia sembunyikan, agar ia terlihat bahagia olehmu..Jangan sampai amarah ciptakan dendam untuk mereka..Bukankah ananda dicipta sebagai pemanis hati?,penyejuk jiwa ketika ibu dan ayah sedang terendam dosa..
Mungkin terasa berat..Namun jangan bohongi nurani..Alunan Hati yang takkan henti menyebut namanya..
Mari buka hati untuk ibu dan ayah..Maafkan ia..Sadarkan ia dengan alunan Kasihmu..Jangan jauhkan Jiwamu darinya hanya karna Amarah yang kuasai jiwa..
Ia adalah Ibumu..Ia adalah Ayahmu..Apapun kekurangan dan kekhilafan yang terhembus dimasa lalu..Jangan Butakan kata ..Jangan Lupakan nada jiwa menyentuh ia dalam Irama Doa..
Ya Tuhan..Ampunilah Khilaf dan Dosa ibu dan ayahku..
Tiada manusia yang sempurna..begitu Jua Malaikatku..
Sadarkan hati untuk tak menjauh darinya..
Bukakanlah pintu maaf dalam jiwa..Untuk ia ibu dan ayahku..
Karena Kutau Cinta sejatiku hanya ia Ibu dan Ayahku..
Ibu..Ayah..Maafkan Ananda yang terkadang hanya memandang satu sisi dari apa yang ananda lihat..
Ibu...Ayah...Apapun Kekuranganmu..Apapun Kelemahanmu..
Izinkan Ananda tetap menatapmu..Hapus sejuta cerita kelam dengan Alunan Doa untuk Jiwamu..